Thursday, January 08, 2009

Dilema Perkembangan Kelapa Sawit

Pada 1970-an, pemerintah Indonesia mengembangkan perkebunan besar badan usaha milik negara (PTPN) yang memakai utang luar negeri. Pola perusahaan inti rakyat perkebunan dikembangkan. Pada 1980-1990-an awal perusahaan besar swasta mulai masuk, didukung oleh program Perkebunan Besar Swasta Nasional dengan skema bank berbunga rendah. Peran pemerintah mendorong perkebunan besar, BUMN, dan swasta sangat besar. Luas area kelapa sawit milik BUMN dan swasta pada 1968 masing-masing hanya 79 ribu dan 41 ribu hektare. Pada 2006, dari 5,6 juta hektare perkebunan kelapa sawit, 57 persen dikuasai swasta, 30 persen rakyat, dan 13 persen negara. Dominasi perkebunan swasta hanya ada di sawit.

Peran pemerintah dalam mendorong perkebunan rakyat relatif kecil. Berbeda sikapnya terhadap korporasi swasta, perbankan kurang bersahabat dengan petani, bahkan sering dikatakan petani tidak bankable. Kenyataannya, perkebunan rakyat jadi tulang punggung penerimaan negara dan penyerapan tenaga kerja. Sebagai gambaran, area kakao rakyat kini sekitar 700 ribu hektare, kebun karet rakyat 3,5 juta hektare, dan kelapa 3,7 juta hektare. Saat ini sekitar 80 persen area perkebunan dikuasai rakyat, sedangkan sisanya oleh swasta dan BUMN. Selain sawit, perkebunan rakyat mendominasi. Rakyatlah yang jadi real investor-nya.

Kemajuan perkebunan kelapa sawit sesungguhnya berkat dorongan pemerintah dengan segala perangkat kebijakannya, mulai lahan hingga pembiayaan yang disubsidi. Saat ini, dengan lahan 5,6 juta hektare dan produksi CPO 16 juta ton, Indonesia jadi eksportir CPO terbesar kedua di dunia dengan pangsa 37 persen (11,3 juta ton CPO). Malaysia masih menguasai 42 persen pasar internasional. Dari produksi CPO 14,7 juta ton pada 2006, Malaysia mengekspor 13,5 juta ton. Selama bertahun-tahun sawit menjadi andalan ekspor.

Seperti tebu, kelapa sawit adalah "komoditas emas". Dari sawit bisa dihasilkan puluhan produk turunan bernilai tinggi, baik pangan maupun nonpangan. Dibanding Malaysia, dalam hal sawit Indonesia memiliki sejumlah keunggulan komparatif. Pertama, Indonesia memiliki lahan dan tenaga kerja melimpah. Saat ini ada lahan 9,2 juta hektare, yang bisa diperluas menjadi 18 juta hektare. Perluasan lahan sawit Malaysia mentok. Kedua, biaya produksi CPO Indonesia lebih rendah daripada Malaysia. Dari studi ADB (1993), Indonesia memiliki daya saing lebih tinggi ketimbang Malaysia dan Papua Nugini. Bahkan studi Oil World (1998) memperkirakan Indonesia menyalip Malaysia pada 2010.

Sayang, keunggulan itu belum digali maksimal dengan menjadikannya komoditas primadona dalam menangguk devisa sehingga bisa menjadi solusi masalah pengangguran dan kemiskinan. Sejak zaman baheula, industri sawit tidak mengalami kemajuan berarti. Di tingkat petani rakyat, sawit berhenti sebagai aktivitas budi daya (on-farm) yang bernilai tambah kecil. Industri hilir (off-farm) yang mengolah sawit didominasi minyak goreng serta sedikit margarin, sabun, dan detergen. Sebagian besar kita mengekspornya dalam bentuk CPO yang value added-nya kecil. Dari 16 juta ton produksi CPO pada 2006, sebanyak 11,5 juta ton diekspor.

Sebaliknya, selain mengekspor CPO, Malaysia mengolahnya menjadi berbagai produk hilir bernilai tinggi. Malaysia unggul dalam produktivitas (3,21 ton CPO per hektare per tahun) ketimbang Indonesia (2,51 ton CPO per hektare per tahun). Malaysia juga berjaya karena ditopang 422 pabrik pengolahan, sedangkan Indonesia hanya 323 pabrik. Perbedaan ini mengakibatkan Malaysia mampu memanfaatkan 87 persen kapasitas pabrik terpasangnya yang mencapai 86 juta ton tandan buah segar (TBS) per tahun, sedangkan Indonesia 65 juta ton TBS per tahun.

Dampak kekurangan pabrik pengolah sawit di Indonesia tidak hanya pada daya saing yang rendah untuk produksi dan ekspor CPO, tapi juga mengakibatkan berdirinya pabrik-pabrik pengolahan CPO tanpa memiliki lahan sawit. Ini membuat jumlah produksi minyak sawit, kualitas produksi, dan harga tidak mampu diprediksi serta dikontrol dengan baik. Kondisi inilah yang mendukung perbedaan produksi dan ekspor kedua negara.

Sebetulnya, kerangka pikir yang dibangun oleh masyarakat perkebunan sawit kita merefleksikan kepentingan korporasi perkebunan besar. Pola pengembangannya menganut pola perkebunan berstruktur integrasi vertikal, yaitu pemilik pabrik pengolahan juga memiliki lahan perkebunan. Persoalan integrasi vertikal ini perlu dipelajari betul. Kita dapat belajar dari perusahaan seperti Nestle, yang memproduksi kopi, cokelat, dan lain-lain tanpa memiliki kebun kopi atau cokelat. Pabrik rokok pun demikian. Negara mendapat lebih dari Rp 35 triliun per tahun dari cukai rokok yang bahan bakunya dari petani tembakau dan cengkeh. Tapi sawit mayoritas diekspor dalam bentuk mentah (CPO).

Integrasi vertikal antara kebun dan pabrik pengolahan yang menggunakan luas lahan tidak terbatas akan menciptakan spatial monopoly. Di sektor hilir, industri olein dan minyak goreng hanya dikuasai satu-dua perusahaan besar dengan penguasaan pangsa pasar yang besar pula. Pengaruh kuat dari sekelompok pengusaha yang memegang monopoli industri hulu kelapa sawit membuat industri hilir sawit tidak berkembang. Bagi pendatang baru, struktur monopolis ini sama artinya dengan entry barrier. Karakter monopoli ini tak hanya membuat perusahaan tidak efisien, tapi juga tidak kreatif dan inovatif.

Berbulan-bulan lebih harga minyak goreng melonjak tinggi. Petani sawit dan pengusaha pengolah sawit bersorak. Mereka menikmati harga yang tinggi. Tapi konsumen menjerit dan pemerintah pusing karena harga minyak goreng yang tinggi bisa mendongkrak inflasi. Sejumlah formula digulirkan, dari operasi pasar, kenaikan pajak ekspor, hingga subsidi. Ini solusi klasik yang diulang-ulang sejak 1990-an. Sampai sekarang kita belum mau menyusun solusi komprehensif agar rutinitas kenaikan harga minyak goreng tidak berulang. Berbeda dengan Malaysia. Dulu, negeri jiran itu berguru industri sawit kepada kita. Secara gradual, Malaysia membuat kebijakan sawit yang komprehensif, dari pembiayaan hingga riset, pasar, dan kelembagaan. Kini Malaysia berjaya, sedangkan Indonesia menjadi runner up dan tiap tahun diguncang masalah harga minyak goreng.

Dengan keterpurukan harga minyak sawit di negeri kita sekarang ini, begitu kelihatan terhadap kemajuan perekonomian bangsa, karena jutaan penduduk Indonesia bergantung kepada kebun sawit, dan dari situ dapat disimpulkan kemajuan bisnis kelapa sawit juga menjadi kepentingan bangsa dan negara demi kemakmuran rakyat.

No comments:

Post a Comment

Silahkan Tinggakan Pesan Anda, Terimakasih!!